KORUPSI
BANSOS, STOP!
Oleh Yohanes B. Samson
Staf
Bidang Agama, Sosial dan Ketenagakerjaan
Pada
Bagian Kesra Setda Sikka
Korupsi sebagai
penyakit sosial birokrasi tampaknya sudah umum terjadi di negeri ini.
Meningkatnya kebutuhan hidup dan tuntutan gaya hidup modern membuat orang
mencari jalan pintas mendapatkan uang sebanyak mungkin, dengan cara semudah
mungkin, dengan biaya semurah mungkin dan dengan proses sesingkat mungkin.
Korupsi sebagai satu cara mendapatkan uang untuk membiayai sebuah gaya hidup
memang menjadi pembalikan mutlak atas hukum ekonomi yang dikenal luas dan
berlaku mutlak di mana-mana. Dengan korupsi, orang tidak harus melakukan sesuatu
untuk menghasilkan barang dan jasa atau memberi nilai tambah atas suatu produk,
tetapi malah menurunkan nilai uang dan menimbulkan inflasi yang hebat. Setiap
rupiah yang dikorupsi menyumbangkan penurunan nilai atau daya beli uang
tersebut atas suatu barang dan jasa menjadi serendah dan seenteng uang itu
didapat.
Korupsi sebagai
suatu kenyataan yang lumrah dan umum terjadi di mana-mana tampaknya dapat
dimaklumi dalam transaksi-transaksi yang berpotensi menghasilkan profit tinggi.
Proses lelang pengadaan barang dan jasa yang besar, tender proyek-proyek
konstruksi miliaran rupiah, suap-menyuap untuk suatu jabatan tinggi,
sogok-menyogok untuk pengambilan kebijakan publik yang strategis selalu menjadi
berita utama di media lokal maupun nasional dewasa ini. Tampaknya korupsi sudah
menjadi semacam budaya yang lumrah dan diterima umum di berbagai bidang dan
sendi hidup sosial birokrasi negeri ini. Berbagai proses hukum yang diungkap
atas kasus-kasus korupsi tidak sanggup menimbulkan ketakutan atau efek jera bagi
orang lain untuk sungguh-sungguh menghindari korupsi dalam keputusan dan
kebijakan yang diambilnya. Apalagi
berbagai aktivitas politik di negeri ini yang membutuhkan biaya tinggi membuat
korupsi menjadi cara yang efektif dan mudah mendapatkan uang dalam jumlah besar
dalam waktu singkat.
Tapi kalau dana
bantuan sosial (bansos) juga dikorupsi, kita memang harus berhenti sejenak dan
menilai kembali sikap kita yang relatif toleran dan lunak terhadap tindakan
korupsi! Bantuan, artinya sebentuk sokongan atau dukungan langsung kepada
seseorang atau suatu institusi yang mengalami kondisi sosial ekonomi yang
rentan dan mengancam kehidupan. Atas nama kemanusiaan dan konsistensi
mempertahankan kehidupan, bantuan itu sifatnya spontan dan segera, dengan
orientasi mutlak kepada subyek yang ada di hadapan kita saat ini. Ia tidak
membutuhkan banyak pertimbangan rasional, juga tidak dapat menunggu terlalu
lama; bantuan itu sifatnya spontan, langsung dan segera. Atas nama keadilan sosial
dan misi nasional melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, pemerintah sebagai
penyelenggara negara memang harus mempunyai suatu system dan mekanisme bantuan
sosial. Di mana-mana dan pada semua masa pemerintahan, dana bantuan sosial
selalu dianggarkan untuk membantu masyarakat yang terancam kehidupannya secara sosial
maupun ekonomi. Bahwa akhir-akhir ini dana bantuan sosial tersebut juga menjadi
lahan korupsi, malah dengan nilai yang fantastis dan intensitas yang sangat
tinggi, sebagai bangsa beradab dan warga masyarakat berbudaya luhur, kita
memang harus menilai kembali sikap kita terhadap korupsi!
Besarnya
angka-angka dana bansos yang dikorupsi di berbagai kabupaten dan provinsi di
Indonesia, khususnya di NTT jika disandingkan dengan tingkat kemiskinan dan
tekanan hidup yang dialami sebagian besar warga masyarakat sungguh membuat kita
merasa nyaris putus asa. Begitu banyak anak putus sekolah, panenan petani yang
gagal, bencana alam yang terus mengintai dan ancaman penyakit yang kian ganas
tidak mendapat dukungan atau bantuan sosial yang memadai, di sisi lain dana
yang sudah dianggarkan untuk bantuan sosial dinikmati oleh beberapa orang saja
dengan begitu mudah. Rasa kecewa dan putus asa masyarakat miskin mestinya tidak
perlu ada seandainya dalam beban anggaran negara dan daerah yang sekian berat,
dana bantuan sosial itu tidak dianggarkan: orang susah memang tetap susah tapi
semangat dan daya juang mereka tetap tinggi mencari jalan keluar daripada
sekadar duduk berharap menunggu jawaban proposal dari pemerintah. Orang mungkin
akan beranggapan, bahwa korupsi memang hak pejabat pemerintah karena masyarakat
memang tidak punya kewenangan luas mengelola kekayaan Negara atas nama
pembangunan. Tetapi ketika mereka dalam kesusahan dan himpitan hidupnya
diberitahu atau menjadi tahu ada bantuan yang bisa mereka dapatkan dari
pemerintah, lalu juga tetap tidak bisa membantu mengatasi masalah mereka,
masalah selanjutnya menjadi semakin bertambah oleh rasa kesal dan lumpuhnya
daya juang. “Kalau tidak bisa menolong dalam kesusahan kami, berpestalah agak
jauh”, kurang lebih begitulah keluh kesah orang yang sedang kesulitan di
hadapan tetangganya yang tidak peduli. Masyarakat kita saat ini tampaknya
sedang merasa demikian tidak peduli dengan pemerintah dan negaranya; bukannya
memberikan bantuan dan dukungan yang menyejukkan hati dalam kesulitan dan
himpitan hidup yang mereka alami, malah disuguhi drama korupsi dan permainan
tipu muslihat para elit pemerintah dan legislatif yang sungguh melecehkan
mereka.
Memberi bantuan
dan sokongan bagi orang yang sedang dalam kesulitan dan himpitan hidup
merupakan kebajikan moral yang sangat dianjurkan dan dihargai tinggi dalam
masyarakat beradab. Sebuah komunitas yang solider dan peduli menjadi tempat
paling dirindukan oleh setiap individu, yang membuat mereka sulit pergi jauh atau
selalu rindu pulang jika berada jauh di luarnya. Dengan saling membantu dan
mendukung terutama dalam situasi sulit dan terhimpit, sebuah komunitas
meneguhkan ikatan solidaritas di antara mereka untuk menghadapi segala sesuatu
bersama-sama. Dukungan dan bantuan itu menjadi mutlak untuk menegaskan ikatan
dan solidaritas antar individu dalam komunitas. Dalam konteks bernegara,
pemerintah menegaskan bantuan dan dukungan itu melalui dana bantuan sosial
untuk warga masyarakat yang mesti ditolong secara langsung dan segera. Bansos
menjadi mekanisme pengimbang distribusi pembangunan yang cendrung sangat teknis
dan terprogram, untuk kebutuhan masyarakat yang sifatnya langsung, segera dan
seringkali harus. Hakikat dasar bantuan sosial inilah yang mendasari pemberian
wewenang kepada kepala daerah untuk mengelola dana bansos secara langsung untuk
kepentingan warga masyarakat yang datang kepadanya secara langsung atau melalui
surat / proposal. Melalui tangan kepala daerah itulah negara menghadirkan diri
secara langsung, segera dan pantas di tengah kesulitan dan himpitan hidup
warganya. Di sisi lain warga masyarakat mengalami langsung peran dan kehadiran
negara dan pemerintah sebagai bapak yang peduli dan solider dengan
anak-anaknya. Bansos memungkinkan terjalinnya suatu hubungan yang saling
menghargai dan meneguhkan dalam sturktur negara kesatuan antara pemerintah dan
rakyatnya. Melalui bansos, pemerintah menjadi tangan dan hati negara (Tuhan)
yang menjawabi doa dan seruan hati rakyat dalam setiap kesulitan dan himpitan
hidupnya. (Betapa akan diberkati Tuhan,
negara dan pemimpinnya yang menghubungkan langit dengan bumi langsung sebegini
dekat!)
Tapi kenyataan
pengelolaan dana bansos di negeri ini memperlihatkan satu sisi lain yang
sungguh berlawanan: bukan berkat dan kemuliaan yang diterima, malah kutukan dan
umpatan datang tak berkesudahan. Kenyataan penyimpangan, penyelewengan, korupsi
dan penyalahgunaan dana bansos di mana-mana menyentak kesadaran pemerintah
pusat untuk mengendalikan dana bansos; dan lahirlah Peraturan Menteri Dalam
Negeri (Permendagri) No. 32 tahun 2011 dan perubahannya No. 39 setahun
kemudian. Belum lagi peratauran gubernur dan bupati untuk menjabarkannya di
daerah tidak langsung jadi dalam sekali dua kali rapat. Jadinya bansos mesti
melalui prosedur yang panjang dan berbelit-belit, diatur sedemikian ketat dan
mesti dirundingkan dengan banyak pihak: dievaluasi oleh intansi terkait,
dibahas oleh tim anggaran eksekutif, diasistensi intensif dengan intansi
pengelola keuangan, disidangkan lagi dengan dewan terhormat. Unsur spontanitas
dan segera sebuah bantuan sosial menjadi tidak tampak lagi; dan mereka yang
menunggu dalam kesabaran penuh harap entah masih menyimpan kata terima kasih
untuk bantuan yang mereka terima atau cuma menyisakan rasa acuh tak acuh
saja (dibantu atau tidak, sama saja:
masalahnya nyaris sudah teratasi sendiri oleh waktu dan alam).
Sebuah
masyarakat yang beradab dalam negara yang konon menjamin keadilan sosial bagi
warganya memang harus segera mengambil sikap tegas terhadap bantuan sosial
untuk warganya dalam kesulitan dan himpitan hidupnya. Kalau korupsi toh tidak
dapat diberantas tuntas dari setiap bidang dan aspek pelayanan publik di negeri
ini, setidaknya dana bantuan sosial tetap dapat menjangkau rakyat yang
membutuhkannya, langsung tepat pada waktunya. Kalau hanya untuk dikorupsi, untuk
apa bansos masih terus dianggarkan. Kalau uangnya ada dan sudah dianggarkan,
berikan saja pada waktunya; tak perlu bicara banyak karena rakyat mungkin
mengira kita menuntut bagian. Kita mesti menjadi sadar, negara yang kita abdi
dan pemerintahan yang kita junjung berhak mendapat berkat karena telah menjadi
tangan dan hati Tuhan untuk umat dan rakyat yang berdoa penuh harap dalam kesulitan
dan himpitan hidupnya. Berhentilah korupsi; sekurang-kurangnya untuk dana
bantuan sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar